Oleh: Muhajir
Pernah suatu ketika, saya menemukan
bebarapa orang siswa yang sedang asik ngobrol sambil menikmati sebatang rokok.
Cek per cek mereka sedang bolos sekolah. Itu saya ketahui saat kuhampiri mereka
dan mengajaknya bercerita. Saat kutanyai satu persatu mereka membolos dengan
motif yang sama: malas masuk sekolah.
Tak
bisa kita sangsi, bahwa Situasi demikian adalah perihal yang telah
berlarut-larut merasuki dimensi kedirian siswa. Ia adalah Sebuah gejala yang
mengeras dalam ruang habitus siswa. Bila merujuk pada asumsi Boudieu, habitus
dalam hal ini adalah kebiasaan yang telah menancap begitu lama sebagai ekses
dari konstruksi lingkungan. Maka pada posisi ini, dapat dikata bahwa membolos
yang kerap dilakukan siswa bukanlah sesuatu yang natural, tetapi terbentuk oleh
konstruksi lingkungan yang telah lama menyelubungi dimensi pengalaman siswa.
Dengan demikian, sangat menyedihkan rasanya
bila harus menuduh siswa itu sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab atas
kebiasaan membolos yang kerap dilakukannya. Sebab ia adalah kebiasaan hasil
konstruksi lingkungan, maka kita mesti curiga bahwa pastinya ada beberapa macam
faktor yang membuat kebiasaan membolos bertahan dan mengakar sampai saat ini.
Namun faktor yang menjadi penting untuk
dipersoalkan adalah tak adanya kebahagiaan yang ditemukan siswa di lingkungan
sekolah. Itulah sebabnya sebagian siswa selalu mencari kebahagiaan lain diluar
sekolah. Dan ini sifatnya fatal. Semakin siswa berusaha mencari kebahagiaan di
luar sekolah, semakin ia terjerumus dalam lubang hitam pergaulan. Sebab kita
tahu, anak kecil maupun remaja memiliki sifat latah yang sangat kuat. apa yang
populer selalu ingin ditiru meskipun itu sesuatu yang merugikan. lantas apa
yang menyebabkan kebahagiaan kian kering di lingkungan sekolah?
Krisis Kualitas Guru
kuat dugaan, bahwa keringnya kebahagiaan
disekolah disebabkan proses pembelajaran di sekolah terlampau membosankan. Itu
dikarenakan guru saat ini hanya menggunakan metode belajar yang itu-itu saja:
ceramah, diskusi, tanya jawab. Padahal model pempelajaran yang menyenangkan
saat ini berkembang dengan pesat namun sayang jarang dijemput dengan hangat
oleh para tenaga pengajar kita.
berdasarkan problema diatas, maka wajar
saja para murid selalu merasa bahwa sekolah itu tak menyenangkan, sebab begitu
statisnya proses pembelajaran disekolah mengakibatkan aktivitas pedagogik
terasa jumud. Dan kondisi demikian pastinya menciptakan rasa bosan yang
berlarut-larut.
Disamping itu, kebanyakan guru tak lihai
dan kreatif menggunakan media pembelajaran. Maka wajar saja bila proses
pembelajaran yang terjadi di kelas sangat standar dan biasa-biasa saja. hal ini
pastinya mengurangi gairah belajar murid sehingga lama kelamaan menimbulkan
rasa bosan.
Perlu diketahui, selain menarik etos
belajar siswa, penggunaan media juga turut membentuk rasa senang murid. Sebab
berbeda kiranya sensasi yang dihasilkan media slide dan media video dibanding
media gambar yang standar bila di implementasikan dalam proses pembelajaran. perihal
seperti ini pun sangat menguatkan keyakinanku bahwa profesionalisme para
pendidik kita sudah semakin tumpul.
Mengakarnya
Pengekangan terhadap Murid
Pun, perihal yang membuat siswa tak
merasa bahagia yakni dimata siswa, guru dipandang sebagai sosok yang menakutkan
(bahasa kerennya sosok yang killer).
Bagaimana tidak, guru terkadang menjadikan siswa sebagai objek, layaknya
benda-benda mati yang dapat diperlakukan semaunya. pemberian hukuman melalui
penyiksaan fisik kepada siswa kerap kali dilakukan oleh guru.
pemberlakuan siswa sebagai objek juga
sering terjadi dalam ruang kelas. Dimana, saat proses pembelajaran berlangsung,
siswa dipaksa menjadi sosok yang secara mekanis mesti menelan mentah-mentah apa
yang disampaikan guru tanpa adanya proses dialogis di dalamnya. Maka wajar saja
bila pemikir sekelas Freire sangat sinis pada fenomena pendidikan saat ini.
dimana, proses pembelajaran yang nampak sangat
dikotomis dan hirarkis. Selalunya murid ditempatkan pada posisi objek dan guru
berkuasa pada posisinya sebagai subjek.
Situasi diatas jelas membuat murid
selalu tak betah berlama-lama disekolah. Bahkan murid selalu mendambakan pulang
lebih cepat bila berada di lingkungan sekolah akibat sekolah selalu dipersepsi
murid sebagai lingkungan yang menakutkan. Sepertinya guru kian terjangkit
penyakit psikologis oleh apa yang Erik Fromm sebut sebagai nekrofilia: semacam
penyakit kejiwaan yang digambarkan Erick Fromm sebagai hasrat untuk mengubah sesuatu yang
hidup menjadi sesuatu yang tak hidup, menghancurkan demi kehancuran itu
sendiri, ketertarikan khusus terhadap segala sesuatu yang murni mekanis.
Sebuah Refleksi
Ah, Apakah pemerintah kita tak tahu atau
seolah-olah tak tahu, bahwa lingkungan sekolah telah berada pada situasi yang
tak normal? Inilah problemnya, Sebenarnya membuat siswa bahagia adalah perihal
yang sangat penting dalam pendidikan, namun kerap kali diabaikan begitu saja.
Itu karena commonsense yang berlaku saat
ini adalah bahwa pendidikan hanyalah berurusan dengan transfer pengetahuan
belaka. Padahal sejatinya, kenyamanan dan kebahagiaan siswa juga mesti
diperhitungkan.
Hal ini penting demi mengurangi kebiasaan
membolos para siswa. Sebab, apa lagi gunanya membolos jika sekolah telah
menyediakan kenyamanan dan kebahagiaan? Dan tak hanya itu, kenyamanan dan
kebahagiaan siswa turut mempengaruhi motivasi belajar siswa. Sebab, kenyamanan dan kebahagiaan siswa
petanda ia berada pada kondisi emosi yang positif. Semakin siswa berada pada
kondisi emosi yang positif, maka semakin memantik minat belajarnya. Dan hal ini jelas akan
berimplikasi pada pengembangan potensi dan bakat siswa.
Setidaknya pembenaran asumsi demikian
dapat kita temukan dari pendapat bebeberapa ahli. Menurut pakar Accelerated Learning, Rose &
Nicholl, bila
emosi positif terbangkitkan maka “at-at keceriaan” yang disebut endorfin dalam
otak akan terbentuk. Hal ini akan memicu meningkatnya aliran neurontransmister.
Bila hal ini terjadi maka memungkinkan terjadinya sambungan antar sel otak. Dan menurut Menurut
Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya belajar
berbasis otak, makin
banyak hubungan yang dilakukan yang dilakukan oleh sel-sel otak, makin baik
seseorang dalam belajar.
Maka pada akhirnya kebahagiaan siswa
turut menentukan pengembangan potensinya juga. Seperti apa yang diasumsikan
oleh Aristoteles bahwa semakin bahagia seseorang, maka semakin seseorang
berhasil mengembangkan potensi dan bakatnya. Inilah alasan mengapa kebahagiaan
siswa tak boleh dipandang sebelah mata. Ia mesti dipantik agar siswa tetap
menganggap sekolah sebagai zona nyaman yang penuh hingar-bingar kegembiraan. Hal
demikian akan turut membangun gairah belajar siswa. Apalah arti sekolah bila
kering akan kebahagiaan? Dan apalah arti sekolah bila lingkungannya justru
mengekang siswa? Bukankah dengan ini, sekolah
tak ada bedanya dengan penjara? []
*Pernah Terbit di Portal Online Buletinsia
0 komentar:
Posting Komentar