Oleh: Ikhsan Nugraha

Apa jadinya jika Jackie Chan, seorang aktor laga yag terkenal dahulu dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi seorang dokter. Messi sang pesepakbola handal justru dimasukkan oleh orang tuanya pada jurusan tekhnik. Pasti kita tidak akan melihat sang aktor laga dan pesepakbola tersebut terkenal seperti saat ini. Atau, Messi sangpesepak bola menggantikan peran Jackie untuk melompat kesana kemari ketika bermain peran. Serta Jackie disuruh menggiring bola melewati barisan pertahanan pemain dari klub-klub besar. Lagi-lagi hal tersebut tidak akan bisa kita bayangkan.
            Inilah bukti bahwa setiap manusia berbeda dengan manusia lainnya. Perbedaan tersebut terjadi akibat warisan gen, serta pengalaman hidup manusia. Alhasil pembawaan sifat dan kebiasaan manusia berbeda-beda. Inilah yang disebut karakter. Atas dasar perbedaan genetik serta faktor lingkungan yang mempengaruhi, terbentuklah sebuah paradigma dalam diri seseorang, sehingga manusia memiliki kecenderungan berbeda dalam bertindak. Inilah yang disebut karakter alamiah manusia, yakni ciri khusus bawaan yang melekat pada diri manusia. Maksudnya, perbedaan atau karakteristik tersebut bukan dilihat pada ciri fisiknya seperti bagaimana ia berpakaian, kendaraan apa yang dikenakan ataupun model rambut apa yang ia miliki. Namun lebih kepada sifat yang mempengaruhi prilaku manusia. Tanpa adanya sebuah karakter, manusia akan sulit membedakan antara dirinya dengan orang-orang disekitarnya.
            Sungguh disayangkan jika sejak kelahirannya, perbedaan karakteristik ini kurang diperhatikan. Sehingga perkembangan anak dari waktu ke waktu, terkadang tidak sesuai dengan karakteristik  alamiah mereka. Inilah yang terkadang menjadi problem saat anak menginjak usia sekolah. Umumnya sekolah-sekolah formal yang ada, kurang menyadari bagaimana karakteristik yang dibawa anak dari lingkungan keluarga mereka. Penerapan sistem klasikal sama sekali tidak berpihak pada perbedaan tersebut. Itulah mengapa bagi sebagian anak, sekolah akan terlihat membosankan dan hasilnya mereka tidak mampu mengikuti pembelajaran dengan baik.
            Oleh sebab perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh manusia. Howard gardner seorang psikolog dari Project Zero Harvard Uniersity tahun 1983 melakukan penelitian terhadap kecerdasan manusia. Hasilnya ditemukan delapan kecerdasan yang ada dalam diri manusia. Penelitiannya inilah yang memberikan kontribusi pada bidang pendidikan. Teori Gardner ini dikenal sebagai teori kecerdasan majemuk (Multiple Intellegences).
Selayang Pandang Multiple intellegences
            Meski agak propokatif, Gardner menegaskan bahwa tidak ada manusia yang bodoh. Semua manusia memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat dan potensinya. Pelabelan terma bodoh pada anak, dinilai gardner tidak menghargai keunikan manusia. Terma bodoh itu sendiri, dilekatkan karena anak hanya dilihat dari satu aspek kecerdasaan saja. Aspek kecerdasan tersebut adalah matematic-logic. Padahal, bagi Gardner masih ada kecerdasan lain  yang dimiliki manusia.
            Delapan kecerdasaan yang dijelaskankan Gardner meliputi kecerdasan: 1.Musical, yakni bagaimana bakat dan potensi manusia pada hal irama. Tidak semua manusia memiliki kecerdasan seperti ini. Orang yang memiliki kecerdasan seperti ini lebih tepat jika diarahkan pada profesi musisi. 2.Verbal-linguistik, kecerdasan ini terletak pada kemampuan manusia dalam menggunakan bahasa. Sehingga orang yang memiliki kecerdasan ini lebih tepat jika diarahkan pada profesi kepenulisan, juru bicara, dsb. 3.Logis matematis, yakni kemampuan manusia pada hal pola serta kategori objek. 4.Visual-spasial, yakni kecerdasan manusia yang erat kaitannya dengan seni lukis dan arsitektur. 5.Kinestetik, yakni kecerdasan pada ekplorasi tubuh dalam pengungkapan ide-ide. 6.Intrapersonal,yakni kempuan memahami diri sendiri. 7.Interpersonal, kemampuan ketujuh ini adalah kemampuan memahami sikap, pikiran dan kemampuan orang lain dan 8.Naturalistik adalah kemampuan untuk mengkatagorisasi dan membuat hirarkis pada hewan, tumbuhan dan alam.
Bagi Gardner sendiri, ia meyakini bawasaannya masih banyak kecerdasaan yang dimiliki oleh manusia. Sehingga kedepannya, memungkinkan didapatkan hasil penelitian yang mengungkapkan kecerdasan kesembilan atau kesepuluh dari manusia.
Sekolah dan Kecerdasan Majemuk
            Masih ingat dengan kasus penganguran? Pengangguran terjadi akibat minimnya lapangan pekerjaan. Lantas apa gunanya pendidikan yang telah dienyam masyarakat sedari mereka dilahirkan? Inti permasalahanya adalah penyaluran bakat dan potensi. Pemerintah harusnya tanggap akan masalah seperti ini. Serta mengeluarkan kebijakan tentang bagaimana sistem pendidikan berbasis kecerdasan majemuk. Alhasil, setiap masyarakat sudah sejak dini mengetahui bakat dan potensinya, dan mereka memahami bagaimana prospek mereka kedepannya. Pengangguran akan berkurang, karena masyarakat mampu mengarahkan dirinya untuk berkreatifitas dengan bekal keahlian yang didapat semenjak mereka sekolah.
            Sekolah yang menyadari perbedaan karakteristik manusia. Sistem konvensional akan ditinggalkan jauh dibelakang. Sekolah akan menggunakan metode baru dengan memperhatikan kecenderungan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap siswanya. Kecerdasan siswa mampu dirangsang untuk diaktualkan sesuai bakat dan potensi yang dimiliki siswa. Sehingga tercipta pola pembelajaran yang lebih humanis.
            Dalam penerapannya, sebagaimana yang dilakukan sekolah-sekolah berbasis kecerdasan majemuk. Pada tahap awal sekolah akan melakukan tes kemampuan siswa atau lebih dikenal dengan MIR (Multiple Intellegences Research). Hal ini dilakukan untuk mengklasifikasi siswa sesuai dengan kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya. Jika siswa sudah terklasifikasi, tidak akan ada lagi kompetisi. Semua siswa akan bekerja sama dalam melakukan pemecahan masalah. Tahap selajutnya, karena sistem Multiple Intellegences yang berbasis pada keunikan manusia, tes formatif dengan pilihan ganda akan dihapuskan. Karena tes tersebut hanya memperhatikan siswa lewat aspek kognitifnya saja. Mungkin saja setiap siswa dikelas tiga SMA, hanya mengikuti MIR untuk mengetahui jurusan apa yang harus mereka ambil ketika masuk pada jenjang perkuliahan. Mereka tidak perlu lagi mengikuti Ujian Nasional yang kerap mengalami kisruh pada akhir pembelajaran sekolah.
            Jika semua sekolah sudah menerapkan model pembelajaran seperti ini. Tidak akan lagi ada siswa yang merasa disorientasi pada masa depannya, terlebih label bodoh pun akan hilang dari manusia. Siswa lebih dipandang sebagai sang juara. Juara pada bidangnya karena setiap siswa sudah diarahkan sesuai dengan bakat dan potensinya masing-masing. Kedepannya, bukan hanya akan bermunculan pesepak bola handal seperti Messi. Tetapi seluruh profesi ataupun civitas yang lain akan diisi dengan orang-orang yang ahli dibidangnya. Sehingga mampu membangun negara Indonesia jauh lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar