https://www.facebook.com/ajir.dzeuz
Oleh: Muhajir

Pernah suatu ketika, saya menemukan bebarapa orang siswa yang sedang asik ngobrol sambil menikmati sebatang rokok. Cek per cek mereka sedang bolos sekolah. Itu saya ketahui saat kuhampiri mereka dan mengajaknya bercerita. Saat kutanyai satu persatu mereka membolos dengan motif yang sama: malas masuk sekolah.
 Tak bisa kita sangsi, bahwa Situasi demikian adalah perihal yang telah berlarut-larut merasuki dimensi kedirian siswa. Ia adalah Sebuah gejala yang mengeras dalam ruang habitus siswa. Bila merujuk pada asumsi Boudieu, habitus dalam hal ini adalah kebiasaan yang telah menancap begitu lama sebagai ekses dari konstruksi lingkungan. Maka pada posisi ini, dapat dikata bahwa membolos yang kerap dilakukan siswa bukanlah sesuatu yang natural, tetapi terbentuk oleh konstruksi lingkungan yang telah lama menyelubungi dimensi pengalaman siswa.  
Dengan demikian, sangat menyedihkan rasanya bila harus menuduh siswa itu sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab atas kebiasaan membolos yang kerap dilakukannya. Sebab ia adalah kebiasaan hasil konstruksi lingkungan, maka kita mesti curiga bahwa pastinya ada beberapa macam faktor yang membuat kebiasaan membolos bertahan dan mengakar sampai saat ini.
Namun faktor yang menjadi penting untuk dipersoalkan adalah tak adanya kebahagiaan yang ditemukan siswa di lingkungan sekolah. Itulah sebabnya sebagian siswa selalu mencari kebahagiaan lain diluar sekolah. Dan ini sifatnya fatal. Semakin siswa berusaha mencari kebahagiaan di luar sekolah, semakin ia terjerumus dalam lubang hitam pergaulan. Sebab kita tahu, anak kecil maupun remaja memiliki sifat latah yang sangat kuat. apa yang populer selalu ingin ditiru meskipun itu sesuatu yang merugikan. lantas apa yang menyebabkan kebahagiaan kian kering di lingkungan sekolah?

Krisis Kualitas Guru
kuat dugaan, bahwa keringnya kebahagiaan disekolah disebabkan proses pembelajaran di sekolah terlampau membosankan. Itu dikarenakan guru saat ini hanya menggunakan metode belajar yang itu-itu saja: ceramah, diskusi, tanya jawab. Padahal model pempelajaran yang menyenangkan saat ini berkembang dengan pesat namun sayang jarang dijemput dengan hangat oleh para tenaga pengajar kita.
berdasarkan problema diatas, maka wajar saja para murid selalu merasa bahwa sekolah itu tak menyenangkan, sebab begitu statisnya proses pembelajaran disekolah mengakibatkan aktivitas pedagogik terasa jumud. Dan kondisi demikian pastinya menciptakan rasa bosan yang berlarut-larut.
Disamping itu, kebanyakan guru tak lihai dan kreatif menggunakan media pembelajaran. Maka wajar saja bila proses pembelajaran yang terjadi di kelas sangat standar dan biasa-biasa saja. hal ini pastinya mengurangi gairah belajar murid sehingga lama kelamaan menimbulkan rasa bosan. 
Perlu diketahui, selain menarik etos belajar siswa, penggunaan media juga turut membentuk rasa senang murid. Sebab berbeda kiranya sensasi yang dihasilkan media slide dan media video dibanding media gambar yang standar bila di implementasikan dalam proses pembelajaran. perihal seperti ini pun sangat menguatkan keyakinanku bahwa profesionalisme para pendidik kita sudah semakin tumpul.

Mengakarnya Pengekangan terhadap Murid
Pun, perihal yang membuat siswa tak merasa bahagia yakni dimata siswa, guru dipandang sebagai sosok yang menakutkan (bahasa kerennya sosok yang killer). Bagaimana tidak, guru terkadang menjadikan siswa sebagai objek, layaknya benda-benda mati yang dapat diperlakukan semaunya. pemberian hukuman melalui penyiksaan fisik kepada siswa kerap kali dilakukan oleh guru.
pemberlakuan siswa sebagai objek juga sering terjadi dalam ruang kelas. Dimana, saat proses pembelajaran berlangsung, siswa dipaksa menjadi sosok yang secara mekanis mesti menelan mentah-mentah apa yang disampaikan guru tanpa adanya proses dialogis di dalamnya. Maka wajar saja bila pemikir sekelas Freire sangat sinis pada fenomena pendidikan saat ini. dimana, proses pembelajaran yang  nampak sangat dikotomis dan hirarkis. Selalunya murid ditempatkan pada posisi objek dan guru berkuasa pada posisinya sebagai subjek.
Situasi diatas jelas membuat murid selalu tak betah berlama-lama disekolah. Bahkan murid selalu mendambakan pulang lebih cepat bila berada di lingkungan sekolah akibat sekolah selalu dipersepsi murid sebagai lingkungan yang menakutkan. Sepertinya guru kian terjangkit penyakit psikologis oleh apa yang Erik Fromm sebut sebagai nekrofilia: semacam penyakit kejiwaan yang digambarkan Erick Fromm sebagai hasrat untuk mengubah sesuatu yang hidup menjadi sesuatu yang tak hidup, menghancurkan demi kehancuran itu sendiri, ketertarikan khusus terhadap segala sesuatu yang murni mekanis.

Sebuah Refleksi
Ah, Apakah pemerintah kita tak tahu atau seolah-olah tak tahu, bahwa lingkungan sekolah telah berada pada situasi yang tak normal? Inilah problemnya, Sebenarnya membuat siswa bahagia adalah perihal yang sangat penting dalam pendidikan, namun kerap kali diabaikan begitu saja. Itu karena commonsense yang berlaku saat ini adalah bahwa pendidikan hanyalah berurusan dengan transfer pengetahuan belaka. Padahal sejatinya, kenyamanan dan kebahagiaan siswa juga mesti diperhitungkan.
Hal ini penting demi mengurangi kebiasaan membolos para siswa. Sebab, apa lagi gunanya membolos jika sekolah telah menyediakan kenyamanan dan kebahagiaan? Dan tak hanya itu, kenyamanan dan kebahagiaan siswa turut mempengaruhi motivasi belajar siswa.  Sebab, kenyamanan dan kebahagiaan siswa petanda ia berada pada kondisi emosi yang positif. Semakin siswa berada pada kondisi emosi yang positif, maka semakin memantik  minat belajarnya. Dan hal ini jelas akan berimplikasi pada pengembangan potensi dan bakat siswa.
Setidaknya pembenaran asumsi demikian dapat kita temukan dari pendapat bebeberapa ahli. Menurut pakar Accelerated Learning, Rose & Nicholl,  bila emosi positif terbangkitkan maka “at-at keceriaan” yang disebut endorfin dalam otak akan terbentuk. Hal ini akan memicu meningkatnya aliran neurontransmister. Bila hal ini terjadi maka memungkinkan terjadinya sambungan antar sel otak. Dan menurut Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya belajar berbasis otak,  makin banyak hubungan yang dilakukan yang dilakukan oleh sel-sel otak, makin baik seseorang dalam belajar.
Maka pada akhirnya kebahagiaan siswa turut menentukan pengembangan potensinya juga. Seperti apa yang diasumsikan oleh Aristoteles bahwa semakin bahagia seseorang, maka semakin seseorang berhasil mengembangkan potensi dan bakatnya. Inilah alasan mengapa kebahagiaan siswa tak boleh dipandang sebelah mata. Ia mesti dipantik agar siswa tetap menganggap sekolah sebagai zona nyaman yang penuh hingar-bingar kegembiraan. Hal demikian akan turut membangun gairah belajar siswa. Apalah arti sekolah bila kering akan kebahagiaan? Dan apalah arti sekolah bila lingkungannya justru mengekang siswa? Bukankah dengan ini,  sekolah tak ada bedanya dengan penjara? []

*Pernah Terbit di Portal Online Buletinsia

0 komentar:

Posting Komentar